Berhutang

Inggris adalah negeri maju yang membukukan catatan sebagai negeri dimana warganya secara individual memiliki tingkat utang paling tinggi di dunia. Jumlahnya mencapai hampir 2 triliun dollar AS. Setiap orang dewasa di sana kira-kira memiliki utang personal senilai lebih dari USD 30.000. Jumlah seluruh utang ini jauh lebih banyak daripada barang dan jasa yang dihasilkan ekonomi negeri ini selama setahun penuh !

Dengan diperdaya dengan berbagai kemudahan, saat ini berhutang telah menjadi Isme – paham yang di-makmum-i secara meluas. Dunia konsumerisme telah menanamkan doktrin baru bahwa BERHUTANG adalah hal biasa. Dalam konteks perekenomian global, hutang diberikan dengan mudah, bahkan terkadang dipaksakan, oleh negara maju kepada negara terbelakang. Negera terbelakang yang terkagum-kagum dan bermental fakir pun dengan terbuka tangannya menerima kucuran dana ini sambil merasa sok yakin ”dana ini obat mujarab untuk kondisi perekonomian kita yang sedang lemah atau menutup APBN ” – tanpa pernah merasa yakin bahwa cicitnya yang makin miskin bisa membayar – bahkan bunganya sekalipun.

“Rasulullah berdoa ‘Ya Tuhanku! Aku berlindung diri kepadaMu dari berbuat dosa dan hutang’ Kemudian ia ditanya: Mengapa Engkau banyak minta perlindungan dari hutang ya Rasulullah? Beliau menjawab : Karena seseorang kalau berhutang, apabila berbicara berdusta dan apabila berjanji menyalahi." (Riwayat Bukhari)

Kenapa orang berutang ? Ada yang berutang karena memang ia tidak memiliki apa-apa lagi untuk bertahan hidup. Tapi tidak sedikit yang berutang hanya karena ingin memenuhi gaya hidup yang sebetulnya tidak ia perlukan. Hanya sedikit orang berutang untuk keperluan investasi atau tujuan produktif.

Yang pertama dan kedua sama-sama berpotensi terjebak perangkap utang. Pertama, karena utang yang ia pinjam untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, makan-minum, beli baju, alat elektronik. Dan lebih parah lagi, yang kedua, utang itu terus ditambah untuk sekadar untuk menjaga gengsi. Misalnya, membeli mobil padahal hanya mampu membayar motor.

Hutang sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengan agunan baju perang.
Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.
Berdasar penjelasan ini, maka seorang muslim tidak boleh berhutang kecuali karena sangat perlu (dharurat). Dan kalaupun dia terpaksa harus berhutang, samasekali tidak boleh melepaskan niat untuk membayar. Sebab dalam hadis Rasulullah s.a.w. disebutkan:

"Barangsiapa hutang uang kepada orang lain dan berniat akan mengembalikannya, maka Allah akan luluskan niatnya itu; tetapi barangsiapa mengambilnya dengan Niat akan membinasakan (tidak membayar), maka Allah akan merusakkan dia." (Riwayat Bukhari)

Comments

Popular posts from this blog

Kader PKS DPRa Mampang, Ngubek Empang

Ust. Anis Matta bicara Uang

Halaqoh: Sebuah Simbiosis Mutualisme