Indahnya Keadilan

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8 )
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun terhadap kerabat(mu).” (QS. Al-An`am: 152)
Pesan berlaku adil itu begitu kental mewarnai dalam berbagai rujukan kitab suci. Tidak hanya dalam Islam juga dalam agama-agama lain. Bahkan salah satu tujuan diutusnya ribuan para Nabi di muka bumi ini adalah untuk menegakkan keadilan. Dalam teologi Islam keadilan mendapat tempat yang istimewa. Dua kubu besar umat Islam Mu`tazilah dan Asya’irah pada prinsipnya sama-sama mengakui bahwa Tuhan itu adil dan bahkan Maha Adil. Tuhan mengharamkan kezaliman sekecil biji atom buat diri-Nya. Meskipun terdapat perbedaan di antara dua kubu tersebut dalam menafsirkan makna keadilan Tuhan. Lebih jauh lagi, Syiah bahkan memasukkan unsur keadilan sebagai salah satu rukun akidahnya dimana keadilan Ilahi merupakan rukun akidah kedua setelah makrifatullah (mengenal Allah). Alhasil, keadilan merupakan esensi ajaran Islam dan Al Qur’an.
Kita akan mencoba menyoroti penerapan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya menyangkut aplikasi keadilan terhadap orang-orang yang kita benci dan kaum kerabat kita, sesuai dengan pesan dua ayat di atas.

Ayat yang pertama—bila kita hayati dan pahami dengan baik—begitu mengagumkan dan luar biasa. Sebab, ayat itu melarang kita bersikap tidak adil terhadap orang yang kita benci. Boleh jadi kita membenci seseorang atau suatu kaum karena adanya perbedaan teologis atau agama, kultur, budaya dan lain sebagainya. Al-Qur’an berpesan kepada kita jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kelompok karena alasan apapun mendorong kita untuk mengambil keputusan atau pernyataan yang tidak adil, yang merugikan pihak yang berseberangan dengan kita tersebut. Ayat ini akan menjadi landasan hukum Islam yang sangat fair dan obyektif di mana kita sebagai pemeluk Islam diperintahkan untuk menjaga dan memperhatikan hak-hak sesama manusia meskipun mereka berbeda agama dengan kita. Barangkali contoh kasus yang menarik dalam hal ini adalah bagaimana Imam Ali bin Abi Thalib memperlakukan pembunuhnya, Abdurrahman Ibn Muljam secara sangat baik dan luhur. Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein untuk memberikan menu makanan yang sama seperti yang dinikmatinya kepada pembunuhnya dan menganjurkan mereka untuk bersikap baik terhadapnya. Ali adalah contoh atau manifestasi sempurna dari ayat ke-8 surah al-Maidah tersebut. Keadilan itu indah dan ia lebih indah ketika diterapkan kepada musuh-musuh keadilan, seperti Abdurrahman bin Muljam.
Ayat yang kedua bernada perintah. Artinya kita dihimbau untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap orang-orang yang kita cintai; orang-orang yang memiliki hubungan darah dan kekeluargaan dengan kita. Penegakan keadilan terhadap orang-orang yang dekat secara gen, kultur, teologi dll dengan kita adalah perkara yang amat berat dan mungkin pahit. Meski demikian keadilan harus diejawantahkan dalam seluruh dimensi kehidupan: sosial, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Jangan sampai tali nepotisme menghalangi seseorang untuk berlaku adil.
Dalam buku potret sehari-hari Imam Khomaini ada hal yang menarik berkaitan dengan aspek keadilan Imam. Beliau tanpa basa-basi menyatakan bahwa bila anaknya Ahmad melakukan suatu pelanggaran serius dan mahkamah Islam menetapkan bahwa karena itu ia harus dieksekusi maka beliau sendiri yang akan melakukan eksekusi tersebut. Iya, penegakan keadilan terhadap kerabat dekat itu terasa sangat pahit, tapi di sisi lain ini menunjukkan keindahan ajaran yang adil. Akhirnya, keadilan itu indah dan ia lebih indah ketika diterapkan terhadap orang-orang dekat. ***



Comments

Popular posts from this blog

Kader PKS DPRa Mampang, Ngubek Empang

Ust. Anis Matta bicara Uang

Halaqoh: Sebuah Simbiosis Mutualisme