Tifatul versus Megawati

Pemilihan umum presiden masih satu tahun lagi. Namun, perang kata-kata di antara elite politik mulai sering dan galak.

Masih segar dalam ingatan bagaimana Megawati Soekarnoputri berperang kata dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui istilah yang memerahkan kuping, yaitu tebar pesona. Juga bagaimana Yudhoyono menyindir pemerintahan Megawati sebagai rombongan yang berpesta pora lalu meninggalkan piring dan gelas kotor yang harus dibersihkan orang lain.

Sekarang perang kata-kata itu melebar. Ada pemain baru yang masuk kancah pertarungan. Dia adalah Tifatul Sembiring, Presiden Partai Keadilan Sejahtera.

Tifatul dalam Mukernas PKS di Makassar menegaskan politisi tua, apalagi yang pernah menjabat presiden, sebaiknya tidak lagi mencalonkan diri dalam pemilu tahun depan. Di mata PKS, calon seperti itu, "No way," kata Tifatul.

Karena merasa ucapan itu ditujukan kepadanya, Mega bereaksi. Menurut Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, Tifatul jangan cuma berwacana, tetapi maju dan bertarung dalam pemilu.

Undang-undang tidak mengatur batas usia tertinggi seorang calon presiden. Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden hanya membatasi usia terendah seorang warga negara untuk bisa dipilih, yaitu 35 tahun.

Jadi, sejauh menyangkut usia, cuma itulah yang diatur undang-undang. Selebihnya tidak ada. Juga tidak diatur apakah seorang yang pernah menjadi presiden tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan lagi.

Wilayah politik Indonesia menjadi rumit karena ketidaktaatan dan ketidakpatutan yang dipertontonkan dengan sangat tidak tahu malu oleh para elite. Karena itu, jadilah perpolitikan Indonesia sebagai praksis tanpa etika dan legalitas.

Undang-undang jelas mengatur syarat 'sehat jasmani dan rohani' seorang calon presiden. Para elite pernah melabrak undang-undang itu dengan menganggap tidak ada syarat kesehatan jasmani yang menghalangi kalau rakyat menghendaki.

Soal ijazah sampai sekarang masih menjadi senjata dagang sapi di antara para elite. Padahal undang-undang jelas mengatakan seorang presiden sekurang-kurangnya berijazah SLTA. Karakter undang-undang di Indonesia, khususnya menyangkut presiden, adalah difokuskan pada individu. Bila DPR ingin mengangkat seorang bayi menjadi presiden, undang-undang bisa diubah seenak hati.

Karena itu, ketika seorang Tifatul Sembiring mengatakan 'no way' bagi calon presiden yang tua dan pernah menjabat, tidak ada dasar pembenarannya kecuali dari sisi pertimbangan kepatutan oleh mereka-mereka yang tua, tetapi masih mencalonkan diri.

Jadi yang diharapkan adalah para elite yang ingin menjadi presiden haruslah tahu diri. Tanya hati tanya selera, apakah masih patut? Termasuk mereka yang menganggap diri muda. Mereka pun harus tahu diri.

Mega dan Tifatul sama-sama pemimpin tertinggi partai. Mega Ketua Umum PDIP, sedangkan Tifatul telah menyandang predikat presiden, pemimpin tertinggi, PKS.

Karena itu, alangkah eloknya kalau Tifatul ingin menjadi presiden, silakan maju. Kan sudah memiliki partai. Mengapa harus mendiskreditkan calon lain dari partai lain?

Yang berbahaya dalam dunia perpolitikan di Indonesia sesungguhnya bukan masalah usia. Melainkan orang tua yang tetap merasa muda dan anak muda yang berperilaku seperti orang tua.



Comments

Popular posts from this blog

Kader PKS DPRa Mampang, Ngubek Empang

Ust. Anis Matta bicara Uang

Halaqoh: Sebuah Simbiosis Mutualisme